Komunikasi Lintas Budaya

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

        

        Saya terlahir dari orang tua yang berbeda suku. Ayah saya bersuku asli Betawi, sedangkan ibu saya perpaduan dari banyak suku. Hal ini terjadi karena kakek dari pihak ibu berdarah campuran Cina dan Bugis, dan nenek dari pihak ibu berdarah Belanda dan Bali.
            Saya lahir dan tumbuh besar di Bali, tepatnya di kota Singaraja kabupaten Buleleng, karena ibu saya juga terlahir dan berdomisili di Singaraja, ayah saya yang berasal dari Jakarta juga ditugaskan di Bali sejak tahun 1989 sampai sekarang.
            Perpaduan banyak suku dalam diri dan kehidupan sehari-hari saya sangat kental terasa. Untuk bahasa sehari-hari di rumah saya menggunakan bahasa Indonesia, saat berkomunikasi dengan teman sebaya di sekolah saya dominan menggunakan bahasa Indonesia, walau seringkali diselipkan bahasa Bali pergaulan. Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah belajar bahasa Bali, karena bahasa Bali masuk dalam kurikulum pembelajaran siswa dari tingkat SD sampai SMA. Hal ini membuat saya fasih menulis aksara Bali, cukup mampu untuk mekidung dan juga berbahasa Bali.
            Bahasa Betawi sangat jarang saya gunakan. Saya pun mendengar percakapan khas Betawi hanya jika saya berkunjung ke rumah saudara dari ayah. Sebenarnya suku Betawi tidak memiliki bahasa khusus, kebanyakan bahasanya diadaptasi dari bahasa Indonesia lalu berubah huruf vokalnya. Ada juga bahasa Betawi yang pelafalannya sama dengan bahasa Bali, namun memiliki arti yang berbeda. Contohnya, kata celeng, di Betawi kata tersebut memiliki arti bingung, sedangkan dalam bahasa Bali celeng memiliki arti babi.
            Pakaian khas Betawi terlihat dari kain yang dipakai sebagai pasangan dari kebaya, karena kain Betawi memiliki corak yang khas. Kain ini saya gunakan saat Ujian Praktek Mekidung di kelas dua belas, karena saat itu seluruh siswa diwajibkan berpakaian adat madya, yaitu menggunakan baju kaus, kain atau yang biasa disebut kamen dalam bahasa Bali, dan juga menggunakan senteng yaitu selendang yang diikatkan di pinggang. Hal ini sebagai bentuk dua kebudayaan yang bisa bersanding menjadi satu.
            Begitu juga dengan makanan. Saya terbiasa dengan makanan pedas khas Bali, seperti ayam betutu, pelecing kangkung, berbagai jenis sambal (sambel matah, sambel bawang, sambel bongkot), berbagai jenis masakan sayuran (jukut ares, jukut srombotan, jukut urab), dan lain-lain. Di rumah ibu saya juga biasa memasak makanan Betawi, seperti sayur asem, semur daging manis, ikan bakar sambal pecak, dan juga tape uli. Walaupun tidak sering, tapi saya bisa memakan makanan dan minuman khas Betawi, seperti bir pletok, dodol Betawi, kembang goyang, kerak telor, karedok, ketoprak, dan kue akar kelapa.
            Bahasa Bugis masih saya gunakan untuk panggilan kakek dari pihak ibu, dimana saya memanggil dengan sebutan Datuk. Begitu juga dengan bahasa Betawi, kakek dari pihak ayah disebut Engkong, nenek disebut Nyai, paman disebut Mamang, bibi disebut Encing, kakak perempuan disebut Empok, kakak laki-laki disebut Abang, paman dan bibi tertua disebut Uwak.
            20 tahun yang lalu, ketika orang tua saya menikah, mereka tidak menggunakan adat Betawi, seperti layaknya serangkaian upacara pernikahan adat Betawi yang mengharuskan adanya prosesi sebelum menikah, yaitu ngedelengin, ngelamar, bawa tande putus, masa pertunangan, mengantar peralatan, dan menyerahkan uang sembah. Begitu juga dengan upacara buka palang pintu, yang biasanya diramaikan dengan bunyi petasan, adu pantun, adu silat, dan calon mempelai laki-laki wajib membaca Al-Qur’an dan membawa roti buaya.
            Prosesi pernikahan yang dilakukan oleh kedua orang tua saya adalah, prosesi melamar, seserahan yaitu mengantarkan berbagai jenis barang untuk calon mempelai wanita, menikah sesuai dengan syariat Islam, dan ngunduh mantu yaitu acara untuk mengenalkan mempelai pria di kalangan keluarga dan tetangga mempelai wanita. Acara berlanjut di kediaman ayah saya di Jakarta, dimana acara tersebut hampir sama dengan acara ngunduh mantu di Bali, hanya saja yang membedakannya adalah waktu berkunjungnya para undangan. Jika di Bali para undangan datang serentak pada waktu yang telah ditentukan, berbeda dengan di Jakarta, karena para undangan datang silih berganti dari pagi hingga malam. Hal ini mewajibkan kedua mempelai harus selalu siap untuk menerima tamu undangan.
            Rumah saya di Bali maupun di Jakarta, tidak ada yang memperlihatkan ciri khas khusus untuk masing-masing daerah. Keduanya bergaya modern, hanya saja untuk atap rumah saya di Bali terdapat sedikit stil Bali. Begitu juga dengan rumah kakek saya dari pihak ayah yang sama sekali tidak bergaya Betawi.
            Saya yang sudah terbiasa hidup di Bali, khususnya di kabupaten Buleleng yang terkenal dengan sebutan Bumi Panas karena selain udaranya yang panas juga karena orang-orangnya yang tidak mau kalah dan keras kepala, membentuk saya sebagai orang yang akan mengungkapkan isi hati secara terbuka, tidak ditutup-tutupi, namun tidak diungkapkan secara blak-blakan seperti orang Betawi. Pergaulan saya yang dominan memiliki teman beragama Hindu membuat saya mengenal beberapa upacara adat dan Hari Besar Keagamaan mereka. Hal ini saya anggap sebagai kekayaan Indonesia yang dengan sangat beruntung bisa saya rasakan dalam diri, keluarga, teman, dan juga kehidupan saya sehari-hari.

  
Kain khas Betawi

  
Saya yang telah mengikuti Ujian Praktek: Mekidung
Read more >>