Selamat Ulang Tahun Penyelamat Jiwa

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

         
Mama, rasanya sedih sekali melewatkan dua kali ulang tahunmu. Namun apa boleh buat. Jarak Yogyakarta dan Singaraja yang cukup jauh membuat kita tak bisa melewatkan tanggal 29 Mei 2012 bersama-sama. Dan hari itu terulang lagi hari ini, namun jarak yang memisahkan kita lebih jauh lagi. Berpuluh-puluh kota yang membentang antara Sumedang dan Singaraja, lagi-lagi membuat kita melewatkan 29 Mei 2013 secara terpisah. 

Akan tetapi, kita sama-sama tahu bahwa Tuhan Maha Baik. Ia selalu mendengar doa umat-Nya, jadi dengan tulus aku pun berdoa dan meminta Tuhan mengirimkan untaian kalimat suci yang aku terbitkan dalam hati.

Aku ingin sekali berdoa supaya Mama berumur panjang, bahkan berharap supaya kita bisa melewatkan embun di masa tua bersama-sama. Tapi jika usia seseorang telah ditetapkan oleh-Nya, aku hanya berani berdoa supaya Tuhan berkenan memberikan kesehatan lahir dan batin untuk Mama, supaya Mama bisa menemaniku di setiap detik.

Aku ingin Mama ada di saat aku wisuda nanti, duduk di antara orang tua lainnya, memelukku dengan gembira dan kita akan terharu bersama.

Aku juga ingin Mama ada di sampingku saat nanti lelaki baik hati itu bersanding bersamaku. Dan lagi-lagi kita berdua menangis terharu.

Aku juga berharap Mama selalu menemani di hari-hari terberatku mengandung. Sampai nantinya saat aku harus menghadapi hari antara hidup dan mati, Mama tetap berada di sisi sambil mengusap lembut kepalaku. Dan untuk yang ketiga kalinya, kita akan menangis penuh haru bahagia ketika malaikat itu lahir ke dunia.

Aku ingin Mama masih senantiasa sehat ketika cucunya bertambah banyak. Dan masih bisa mengajarkan mereka persis sama seperti Mama mendidikku dari kecil. Mama yang mengajarkanku menulis mimpi-mimpiku, membaca semua anugerah yang Tuhan berikan,  menggambar masa depan dengan satu matahari besar yang bersinar tanpa henti dan beberapa burung yang terbang santai. Mama pula yang mengajarkanku bernyanyi tentang cinta. Aku ingin Mama bisa mengajarkan hal itu pula kepada anak-anakku kelak. Karena hal itu yang menuntunku meraih mimpi-mimpi yang sampai saat ini masih aku kejar. Hal itu pula yang menyelamatkan aku, karena Mama mengajarkan tentang apa yang boleh aku katakan, apa yang harus aku lakukan, apa yang wajib aku tunaikan, dan begitu pun sebaliknya.

Ketika aku mengucapkan doa ini, aku berharap para malaikat menundukkan kepala dan mengamini harapanku ini. Karena aku sungguh ingin doa ini mendapat kesempatan untuk menjadi kenyataan.

Mama, aku ingin sekali mengucapkan terima kasih untuk segalanya. Untuk keputusanmu berhenti mengejar mimpimu sendiri, demi memilih bersamaku di rumah, bernyanyi bersamaku sepanjang waktu, berusaha menghentikan rajukanku di tengah malam, dan selalu berdoa untukku di setiap tirakatmu. Sampai saat ini aku tak tahu bagaimana membalas betapa besarnya kerendahan hatimu yang mampu mengusir semua keegoisan diri hanya demi aku.

Pun rasa terima kasih untuk tiap jengkal kenyamanan yang Mama ciptakan. Aku tak henti-hentinya merasa heran kepada beberapa teman yang mengaku tidak dekat lagi dengan mama mereka. Membandingkan dengan aku yang masih saja tidur bersamamu di setiap ada kesempatan, masih suka berbelanja bersama, dan berdua mengitari kota tanpa tujuan yang jelas. Dan aku menikmati itu semua.

Semoga doa ini layak untuk Tuhan kabulkan. Karena aku ingin bersama Mama melewati hari-hari yang panjang.

Selamat ulang tahun Penyelamat Jiwa, tetaplah menyelamatkanku.



Ista dan Mama


Aku dan Penyelamat Jiwa




Read more >>

Ketika Semua Harus Berjalan Seimbang

Diposting oleh Artista Lushar Nova on


Ini tentang percakapan saya dengan teman satu kos yang kamarnya berada di depan kamar saya. Sebenarnya ini malam Minggu yang biasa, sebagai sesama anak rantau, kami sering mengobrol atau menonton film hingga larut malam hanya untuk sekadar membunuh kebosanan di malam Minggu. Berhubung teman-teman yang lain memanfaatkan malam Minggu mereka untuk pulang ke rumah masing-masing, secara otomatis tempat kos kami hanya akan dihuni oleh beberapa orang saja.
Seperti malam Minggu biasanya, malam itu pun kami mengobrol berdua. Entah dari mana awal pembicaraan kami hingga akhirnya berujung pada ingatan kami mengenai orang-orang di sekitar saya dan dia yang meninggal secara tiba-tiba. Iseng-iseng saya berkata, “Kenapa sih pada akhirnya ada yang harus meninggal?”, pertanyaan iseng saya itu dijawab olehnya dengan jawaban yang cukup mengandung humor, “Supaya dunia gak penuh”. Lalu percakapan ini pun berlanjut dengan pertanyaan saya, “Kalau disuruh memilih, kamu mau pilih yang mana, antara orang-orang yang masih ada sekarang tidak akan meninggal dunia tapi tidak akan ada juga kehidupan baru di muka bumi ini, atau siklus hidup seperti sekarang ini?”, lalu ia menjawab, “Suatu saat nanti kita pasti akan menjadi orang-orang yang gak produktif lagi. Jadi, biarlah generasi baru yang akan melanjutkannya”.
Percakapan singkat ini mengambil bagian tersendiri dalam benak saya hingga berhari-hari. Jujur, dalam hati yang paling dalam, saya lebih ingin jika orang-orang yang ada sekarang, orang-orang yang saya sayangi, orang-orang yang saya lihat sekarang bisa terus hidup. Dengan kata lain, mereka tidak akan meninggalkan dunia. Walaupun konsekuensinya, saya tidak akan melihat bayi-bayi lucu yang baru lahir dari rahim ibunya. Kenapa? Sampai sekarang saya masih sering teringat Nenek yang sudah hampir 14 tahun meninggal, saya masih ingat waktu itu saya masih sekolah di Taman Kanak-kanak, saya menangis waktu beliau meninggal di sore itu. Saya juga teringat Engkong yang meninggal waktu saya baru saja menyelesaikan Ujian Nasional di kelas enam. Kabarnya saya terima melalui telepon siang itu, membuat saya langsung tidak nafsu makan. Dan karena keberangkatan pesawat yang sempat tertunda beberapa jam, saya tidak sempat melihatnya untuk yang terakhir kali. Saya juga masih ingat Surya, teman dari SMP hingga SMA, teman dekat yang sering mengundang tawa saya, ia meninggal tiba-tiba karena penyakit gagal ginjal yang baru terdeteksi oleh dokter tak lama sebelum ia meninggal. Sebelumnya, kami sempat berjabat tangan di tanggal 21 April 2012, di Acara Penglepasan Siswa-Siswi Kelas XII, dan sekarang jasadnya telah menjadi abu. Saya juga masih ingat waktu mama menelepon saya tepat di saat muadzin baru saja menyerukan adzan subuh dan mengatakan bahwa Rifal, kakak kelas dari SMP hingga SMA, kebetulan kami masih ada hubungan keluarga jauh, sekaligus cowok yang banyak disukai oleh teman-teman saya, meninggal karena tersambar petir di puncak gunung. Saya masih ingat betul, saat takbiran di malam Lebaran Idul Fitri tahun lalu ia mengikuti pawai mewakili masjid di perumahan tempat kami tinggal, dan seperti biasa ia yang menabuh bedug. Saat itu saya yang menontonnya di pinggir jalan raya hanya sempat berbalas senyum dengannya. Sehari setelah Rifal meninggal, kembali saya mendengar kabar duka, ia adik perempuan Nenek yang sewaktu liburan semester satu kemarin sempat mampir ke rumah dan menanyakan perkuliahan saya, sekarang ia pun telah tiada. Dua tetangga dekat rumah yang saya tahu selama ini pun telah meninggal secara tiba-tiba. Rasanya belum percaya dengan kepergian mereka semua. Tapi nyatanya, mereka tidak akan pernah kembali lagi.
Ingatan-ingatan tentang mereka ini yang membuat saya tidak ingin ada yang pergi lagi setelah ini. Saya ingin orang-orang yang saya sayangi tetap ada dan tersenyum. Ingin rasanya mengetahui bahwa mereka akan baik-baik saja.
Akan tetapi, saya tetap percaya semua rencana Allah SWT. Saya tetap percaya akan semua rancangan-Nya. Dia telah mengatur dunia dengan sedemikian rupa. Ada yang datang, ada juga yang pergi. Ada yang terlahir ke dunia, ada juga yang sudah harus kembali kepada-Nya. Walaupun terkadang apa yang terjadi sekarang, belum sepenuhnya kita pahami. Seperti saya yang ingin bisa selalu memeluk mereka, orang-orang yang masih bisa saya lihat, yang suatu saat pelukan itu akan terlepas juga.
Read more >>

Petrichor

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

Ketika aku mulai lupa
bagaimana warna pelangi
Kau akan turunkan rintik
lalu gerimis, lalu hujan

Jika aku mulai jenuh
dengan berbagai jarak
Kau akan turun dari langit
lalu membumi dan terjamah

Kemudian aku mulai rindu
Lalu hujan pun membumi
dan kau mengobatiku
dengan harum petrichor

*Kau adalah petrichor yang selalu aku tunggu-tunggu.

Read more >>

Komunikasi Lintas Budaya

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

        

        Saya terlahir dari orang tua yang berbeda suku. Ayah saya bersuku asli Betawi, sedangkan ibu saya perpaduan dari banyak suku. Hal ini terjadi karena kakek dari pihak ibu berdarah campuran Cina dan Bugis, dan nenek dari pihak ibu berdarah Belanda dan Bali.
            Saya lahir dan tumbuh besar di Bali, tepatnya di kota Singaraja kabupaten Buleleng, karena ibu saya juga terlahir dan berdomisili di Singaraja, ayah saya yang berasal dari Jakarta juga ditugaskan di Bali sejak tahun 1989 sampai sekarang.
            Perpaduan banyak suku dalam diri dan kehidupan sehari-hari saya sangat kental terasa. Untuk bahasa sehari-hari di rumah saya menggunakan bahasa Indonesia, saat berkomunikasi dengan teman sebaya di sekolah saya dominan menggunakan bahasa Indonesia, walau seringkali diselipkan bahasa Bali pergaulan. Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah belajar bahasa Bali, karena bahasa Bali masuk dalam kurikulum pembelajaran siswa dari tingkat SD sampai SMA. Hal ini membuat saya fasih menulis aksara Bali, cukup mampu untuk mekidung dan juga berbahasa Bali.
            Bahasa Betawi sangat jarang saya gunakan. Saya pun mendengar percakapan khas Betawi hanya jika saya berkunjung ke rumah saudara dari ayah. Sebenarnya suku Betawi tidak memiliki bahasa khusus, kebanyakan bahasanya diadaptasi dari bahasa Indonesia lalu berubah huruf vokalnya. Ada juga bahasa Betawi yang pelafalannya sama dengan bahasa Bali, namun memiliki arti yang berbeda. Contohnya, kata celeng, di Betawi kata tersebut memiliki arti bingung, sedangkan dalam bahasa Bali celeng memiliki arti babi.
            Pakaian khas Betawi terlihat dari kain yang dipakai sebagai pasangan dari kebaya, karena kain Betawi memiliki corak yang khas. Kain ini saya gunakan saat Ujian Praktek Mekidung di kelas dua belas, karena saat itu seluruh siswa diwajibkan berpakaian adat madya, yaitu menggunakan baju kaus, kain atau yang biasa disebut kamen dalam bahasa Bali, dan juga menggunakan senteng yaitu selendang yang diikatkan di pinggang. Hal ini sebagai bentuk dua kebudayaan yang bisa bersanding menjadi satu.
            Begitu juga dengan makanan. Saya terbiasa dengan makanan pedas khas Bali, seperti ayam betutu, pelecing kangkung, berbagai jenis sambal (sambel matah, sambel bawang, sambel bongkot), berbagai jenis masakan sayuran (jukut ares, jukut srombotan, jukut urab), dan lain-lain. Di rumah ibu saya juga biasa memasak makanan Betawi, seperti sayur asem, semur daging manis, ikan bakar sambal pecak, dan juga tape uli. Walaupun tidak sering, tapi saya bisa memakan makanan dan minuman khas Betawi, seperti bir pletok, dodol Betawi, kembang goyang, kerak telor, karedok, ketoprak, dan kue akar kelapa.
            Bahasa Bugis masih saya gunakan untuk panggilan kakek dari pihak ibu, dimana saya memanggil dengan sebutan Datuk. Begitu juga dengan bahasa Betawi, kakek dari pihak ayah disebut Engkong, nenek disebut Nyai, paman disebut Mamang, bibi disebut Encing, kakak perempuan disebut Empok, kakak laki-laki disebut Abang, paman dan bibi tertua disebut Uwak.
            20 tahun yang lalu, ketika orang tua saya menikah, mereka tidak menggunakan adat Betawi, seperti layaknya serangkaian upacara pernikahan adat Betawi yang mengharuskan adanya prosesi sebelum menikah, yaitu ngedelengin, ngelamar, bawa tande putus, masa pertunangan, mengantar peralatan, dan menyerahkan uang sembah. Begitu juga dengan upacara buka palang pintu, yang biasanya diramaikan dengan bunyi petasan, adu pantun, adu silat, dan calon mempelai laki-laki wajib membaca Al-Qur’an dan membawa roti buaya.
            Prosesi pernikahan yang dilakukan oleh kedua orang tua saya adalah, prosesi melamar, seserahan yaitu mengantarkan berbagai jenis barang untuk calon mempelai wanita, menikah sesuai dengan syariat Islam, dan ngunduh mantu yaitu acara untuk mengenalkan mempelai pria di kalangan keluarga dan tetangga mempelai wanita. Acara berlanjut di kediaman ayah saya di Jakarta, dimana acara tersebut hampir sama dengan acara ngunduh mantu di Bali, hanya saja yang membedakannya adalah waktu berkunjungnya para undangan. Jika di Bali para undangan datang serentak pada waktu yang telah ditentukan, berbeda dengan di Jakarta, karena para undangan datang silih berganti dari pagi hingga malam. Hal ini mewajibkan kedua mempelai harus selalu siap untuk menerima tamu undangan.
            Rumah saya di Bali maupun di Jakarta, tidak ada yang memperlihatkan ciri khas khusus untuk masing-masing daerah. Keduanya bergaya modern, hanya saja untuk atap rumah saya di Bali terdapat sedikit stil Bali. Begitu juga dengan rumah kakek saya dari pihak ayah yang sama sekali tidak bergaya Betawi.
            Saya yang sudah terbiasa hidup di Bali, khususnya di kabupaten Buleleng yang terkenal dengan sebutan Bumi Panas karena selain udaranya yang panas juga karena orang-orangnya yang tidak mau kalah dan keras kepala, membentuk saya sebagai orang yang akan mengungkapkan isi hati secara terbuka, tidak ditutup-tutupi, namun tidak diungkapkan secara blak-blakan seperti orang Betawi. Pergaulan saya yang dominan memiliki teman beragama Hindu membuat saya mengenal beberapa upacara adat dan Hari Besar Keagamaan mereka. Hal ini saya anggap sebagai kekayaan Indonesia yang dengan sangat beruntung bisa saya rasakan dalam diri, keluarga, teman, dan juga kehidupan saya sehari-hari.

  
Kain khas Betawi

  
Saya yang telah mengikuti Ujian Praktek: Mekidung
Read more >>