Aku dan Biji Mangga

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

              

              Malam ini saat saya sedang mengupas sebuah mangga, tiba-tiba saja teringat akan diri saya di usia sekolah dasar dulu. Saat dimana biji mangga adalah primadona dibandingkan daging mangga itu sendiri. Hal itu membuat saya geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa saya ngotot meminta biji mangga yang sudah dikupas habis dagingnya dan (berusaha) mencari-cari sisa daging buah pada biji tersebut dengan perasaan riang gembira?
            Untungnya setelah memasuki bangku sekolah menengah pertama saya sadar akan hal itu, maksudnya sudah sadar bahwa lebih menguntungkan jika memakan daging buahnya, bukan bijinya. Ini membuat saya geli sendiri, membayangkan betapa lugunya seorang anak kecil dalam mendapatkan apa yang dia inginkan, tanpa memperhitungkan untung dan rugi dari hal tersebut.
            Dari sini saya belajar, bahwa dulu, saat saya belum harus berfikir tentang banyak hal, saat saya hanya akan merasa bahagia jika mendapatkan apa yang saya inginkan betapapun sepelenya hal itu, saat saya masih benar-benar polos, sesuatu tidak pernah diukur dari harganya. Di sini, nilai yang berperan.
            Masa kanak-kanak adalah kebebasan tak ternilai. Walaupun di masa itu saya belum boleh tidur larut malam hanya karena ingin menonton film, walaupun saat itu saya diwajibkan tidur siang, dan walaupun waktu itu saya tidak pernah pergi sendiri. Tapi di masa itu pula saya bebas bertingkah - yang jika saya lakukan sekarang mungkin agak tidak masuk akal - tanpa pernah takut akan ditertawakan, tapi di saat itu pula saya bisa bermain apa saja - yang tidak mungkin lagi saya mainkan sekarang – tanpa pernah memikirkan betapa konyolnya hal itu  , dan di waktu itu pula saya bebas memilih antara biji mangga atau dagingnya tanpa pernah memikirkan yang mana untung dan yang mana rugi.
Read more >>

Aku Ingin Menjadi Burung Gereja

Diposting oleh Artista Lushar Nova on



Ini tentang burung gereja yang senantiasa bertengger santai pada dahan pohon mangga. Tahukah kamu bahwa saat ini aku iri betul dengan bulu-bulu pada tubuhmu yang masih bisa merasakan angin sore di serambi rumahku? Tidak tahukah kamu bahwa detik ini aku ingin sekali berubah menjadi dirimu? Hingga aku bisa seketika mengepakkan sayap dan pulang ke rumah.
Akan tetapi, apa sayapmu cukup kuat untuk menempuh jarak puluhan kilo meter? Aku tak ingin mengambil risiko untuk pulang dengan sayap yang jika terhempas angin kencang akan patah menjadi dua. Tapi aku ingat lagi, bahwa kamu adalah burung kecil yang sering hinggap di dahan pohon mangga halaman rumahku, hanya seekor burung gereja, bukan rajawali yang memiliki sayap kuat nan tanggung yang kira-kira mampu melintasi pulau, menempuh perjalanan udara dari Jawa Barat menuju Bali Utara.
Sejak di sini semua terasa terlalu serba salah. Aku benci matahari pagi yang selalu terlalu cepat terbit untuk mengoyak selimut tebal milikku, namun itu juga pertanda baik bahwa hari sudah berganti. Aku tidak suka jika matahari senja dengan gerakan anggunnya mulai merebahkan diri di balik malam, karena sepi akan menjadi milikku seorang, namun di satu sisi aku tahu bahwa itu simbol tahun 2012 akan segera menua.
Lalu aku bingung sendiri. Apakah harus menunggu tahun berganti dengan sikap manis seperti bocah cilik di taman kanak-kanak, atau segera berubah menjadi burung gereja yang tidak mempunyai sayap seperti rajawali.
Read more >>

Rasanya: Nano-nano

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

Bukan hal yang mudah ketika kita tahu bahwa tidak ada lagi seseorang yang biasanya selalu siap menjadi pembela, lebih sulit lagi untuk menerima kenyataan bahwa sekarang tidak ada lagi seseorang yang dulu selalu menjadi pelindung.
Dan, baiklah, sekarang saya harus mengalaminya. Harus menjalani kehidupan yang baru, di kota baru tanpa papa sang pembela, dan mama sang pelindung. Berat memang, tapi apa boleh buat, apakah harus saya pindahkan universitas impian saya ini ke kota tempat orang tua tinggal? Jelas tidak mungkin.
Terkadang ingin menangis jika kembali teringat masa-masa tinggal di rumah, di mana saya tidak pernah mengurus pekerjaan rumah tangga. Tapi di sini, saya berusaha melakukannya sendiri, termasuk mencuci. Walaupun mama menyarankan untuk menggunakan jasa tukang cuci, tapi saya bersikeras ingin mencuci sendiri. Padahal di rumah, cukup dengan meletakkan baju kotor di mesin cuci, lalu mengatur di beberapa panel, tercucilah baju-baju itu dengan ajaib.
Akan tetapi, jika diteliti dan dihayati lebih jauh, kehidupan baru ini benar-benar seru. Saya menjadi orang yang bangun di pagi hari dengan berbagai rencana sambil menyiapkan sarapan. Pulang kuliah tidak bisa langsung berbaring di tempat tidur yang selalu saya jaga kerapiannya, tapi ada saja yang saya rapikan, lalu membersihkan kamar. Bukankah itu perubahan yang baik?
Bukannya mau sok hebat, tapi saya ingin membuktikan bahwa saya bukanlah putri keraton yang selalu halus dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki, pertanda tak pernah melakukan pekerjaan berat. Seperti anggapan teman-teman saya dulu, bahwa saya adalah orang yang memiliki sepuluh pembantu rumah tangga, hingga mencuci piring pun tidak bisa. Padahal anggapan itu tidak benar. Mama saya adalah orang yang tidak ingin pekerjaannya mengatur rumah tangga diganggu orang luar, jadi ia membiasakan kepada saya untuk mencuci piring dan membantunya menyapu di hari libur. Yah, cuma itu memang pekerjaan rumah yang saya bisa sebelum saya harus tinggal di kota yang mirip dengan latar film Petualangan Sherina ini.
Bahkan, menyeberang jalan raya saja saya tidak bisa. Takut. Tapi di sini, dengan ajaibnya keberanian itu datang sendiri. Saya berpikir, di sini saya tinggal sendiri, tanpa seorang keluarga pun, jadi saya hanya bisa mengandalkan diri saya. Jika untuk menyeberang jalan saja saya harus bersama teman, bisa-bisa saya hanya akan mematung di tepi jalan tanpa harus tahu kapan saatnya yang tepat untuk melangkahkan kaki. Dan, jujur, saya sangat takjub saat saya menyeberang bersama teman, sayalah yang menjadi pemandunya, dan mereka mengatakan, “Wow, Ista hebat ya, bisa nyeberang jalan”. Bangga? Jelas, karena saya menyeberang jalan di lalu lintas yang sangat padat. jalur pantura, yang berubah menjadi ajang kebut-kebutan supir truk dan bus.
Masalah makan lain lagi. Saya bukan orang yang cerewet masalah jenis makanan. Syukurnya saya tidak memiliki alergi apapun, kecuali untuk sesuatu yang haram dan menjijikkan. Apalagi uang bulanan, bukan masalah bagi saya. Tapi masalahnya terletak pada, tidak lezatnya makanan yang tersedia di sini. Di rumah, saya terbiasa pada menu yang berganti setiap hari, dan selalu enak. Dan di sini, saya tidak mendapatkan itu semua. Lagi-lagi saya berpikir, ini karena saya kurang bersyukur. Saya mengeluh karena makanan tidak enak, sedangkan kebanyakan teman mengeluh karena tidak ada uang.
Saya tahu bahwa saya harus menikmati kehidupan baru ini. Menikmati tinggal di daerah pegunungan yang anehnya panas sekali di saat siang, menikmati makanan yang dibuat dengan doa supaya makanan tersebut laku, menikmati mandi dengan air yang (jika tidak disaring dengan kain di saluran kerannya) mengandung keong-keong kecil, ini karena tempat kos saya menggunakan air tanah, dan tentunya menikmati semua mata kuliah saya. Rasanya, seperti saya sedang mengulum permen Nano-Nano, manis-asem-asin.

Read more >>

Tempat Kumulai Mengejar (Ber)mimpi

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

Bukan hal yang mudah ketika kedua mata harus membendung air yang hendak tumpah. Sekalipun tidak tumpah, tapi meleleh di sudut-sudutnya. Lelah membayangkan jauhnya jarak.

Hati dan mata sepertinya sepakat untuk saling bekerja sama. Sang Hati yang mulai gerimis, didukung oleh Sang Mata yang dengan cekatan menjadi saluran pembuangan. Rontok sudah semua kekuatanku.

Meninggalkanmu bukanlah hal yang menjadikan malam menjadi pesta pora, bukan juga hal yang terlalu pilu, karena semua lampu-lampu taman pun tahu bahwa mimpiku telah menunggu untuk dijemput.

Namun, hati memang tidak bisa berbohong. Di saat malam seperti ini, hujan begini, biasanya aku akan lari ke arah jendela untuk menikmati rintik oleh-oleh dari  Dewa Zeus, sambil menikmati suguhan hangat dari mama. Tapi sekarang, di saat yang sama, saat hujan turun belum begitu deras, aku hanya bisa menikmatinya sendirian. Tanpa suguhan hangat, tanpa suasana yang akrab.

Aku mencoba mengingat semua tepi jalan yang pernah aku lewati, rasanya mereka juga menangis melihat kepergianku. Sungguh, bukannya aku tidak setia. Tapi cobalah untuk bersabar hingga kalender tahun ini bisa kusobek dan menggantinya dengan angka yang baru. Pertanda aku akan datang menemuimu. Walaupun, hanya sesaat, karena rumput-rumput di kota baru ini akan segera menarikku pulang dalam dekapannya.

Kamu, punya tempat yang teramat istimewa. Bagaimana tidak, jika di tanahmu aku dilahirkan, belajar bernyanyi tentang kehidupan, juga menemukan cinta.

Janganlah cemburu kepada kota baru yang sekarang memiliki diriku dengan persentase lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Dia kota yang baik, kota tempatku mengejar mimpi. Bukankah seharusnya kamu dan dia bersahabat baik mulai sekarang? Karena Singaraja-Jatinangor adalah tempat kumulai bermimpi dan mengejar mimpi.

Tempat Kumulai Mengejar Mimpi
Read more >>

Sihir Metropolitan

Diposting oleh Artista Lushar Nova on
         Catatan ini tentang rasa takjub saya terhadap salah satu teman lama saya. Rasa takjub sekaligus rasa tak percaya dengan apa yang saya lihat.
            Dia teman lama saya, tetangga waktu kami sama-sama kelas lima sekolah dasar. Dulu, kami sering pergi berenang ke pantai yang letaknya tak jauh dari perumahan tempat kami tinggal, saat sholat maghrib tiba, kami pergi ke masjid bersama-sama dengan kecerian khas anak kecil. Lalu tiba-tiba ia memutuskan untuk kembali tinggal bersama orangtuanya di Jawa, karena memang disini ia tinggal bersama paman dan bibinya. Kepergiannya cukup membuat saya merasa kehilangan teman, teman yang sama lugunya dengan saya, bukan seperti anak-anak lain yang “gayanya” berbeda dengan saya. Saya yang lebih suka berdiam di rumah, menulis puisi, atau pergi berenang dengan teman kecil saya itu, terlihat cukup kontras jika harus akrab dengan sekumpulan anak-anak yang gemar membentuk kelompok tari kreasi dan sudah berani untuk berpacaran di usia yang menurut saya belum pantas untuk berkasih-kasihan.
            Sepeninggal teman kecil saya itu, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, keluar rumah hanya untuk sekolah dan les. Dari bibinya, saya mengetahui bahwa kehidupannya sekarang jauh dari kata layak. Ia tidak melanjutkan sekolah dan setiap waktu panen habis, sebelum sawah dibakar oleh para petani, ia harus memunguti sisa bulir-bulir padi di sawah milik orang untuk makan. Betapa miris mendengarnya. Andai saja ia masih tinggal di sini, mungkin kami bisa bersekolah di tempat yang sama dan belajar bersama-sama.
            Suatu hari sepulang sekolah (saat itu saya sudah kelas sebelas), mama memberitahu saya bahwa teman kecil saya itu tinggal lagi bersama paman dan bibinya. Langsung saya mendatanginya yang waktu itu sedang menggoreng kerupuk membantu bibinya yang mempunyai usaha kerupuk. Senang sekali melihatnya yang sekarang lebih dewasa namun masih tetap lugu seperti dulu. Namun itu tak lama, karena kemudian ia memberitahukan saya bahwa sekarang ia tinggal di Denpasar dan bekerja di sana sebagai tukang roti.
            Cukup lama kami tak berhubungan lagi setelah smsnya yang terakhir itu, karena sekarang saya sudah kelas akhir di sekolah menengah atas. Namun tiba-tiba datang satu sms dari nomer yang tidak tersimpan di daftar kontak saya. Dan itu ternyata nomer baru teman kecil saya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan saya mengetahui bahwa saat ini ia masih tinggal di Denpasar namun sudah pindah kerja ke toko kaset, ia menanyakan alamat facebook saya, katanya, “Biar lebih gampang menghubungi kamu, Ta”. Ya sudah, saya berikan saja alamat facebook saya dan menunggu permintaan pertemanan darinya.
            Beberapa hari kemudian ketika saya sempat online di jejaring sosial itu, saya melihat ada beberapa permintaan pertemanan. Karena yang saya tunggu-tunggu adalah permintaan pertemanan dari teman lama saya itu, maka dengan teliti saya baca satu-persatu nama-nama facebook tersebut. Ternyata tak ada namanya, saya pikir mungkin ia belum sempat menambahkan saya sebagai temannya. Namun setelah saya teliti lagi foto-foto di pengguna akun tersebut, saya mengenali ada foto teman kecil saya itu, tetapi nama facebooknya bukan lagi nama aslinya. Nama khas Jawa yang menurut saya adalah nama yang manis, namun rupanya sekarang ia mengganti namanya dengan sebuah nama modern, bahkan nama facebooknya pun (menurut saya) sangat alay.
Setelah saya menerima permintaan pertemanan darinya, saya membuka profilnya. Ya Allah, inikah teman lama saya? Seorang gadis lugu yang begitu mengerti keprihatinan hidupnya. Namun sekarang telah menjelma menjadi gadis metropolitan. Rambutnya yang dulu hitam dan ikal, sekarang sudah lurus seperti sapu ijuk dan terkena percikan cat cokelat. Ia yang dulunya teramat lugu, sekarang dengan berani memamerkan foto-foto yang tak pantas bersama kekasihnya. Tiba-tiba saya merasa sangat bodoh, karena ketika saya memberitahukan alamat facebook saya kepadanya, ada sedikit rasa malu yang menggelitik hati, karena dengan mengetahui facebook saya berarti dia pun akan mengetahui bahwa saya sudah memiliki kekasih, karena hal itu terinformasikan di facebook saya. Namun apa yang saya lihat ini bagaikan petir di siang bolong.
Inikah yang dinamakan sihir metropolitan? Yang begitu hebat telah merubah teman lama saya menjadi seorang gadis yang tidak lagi saya kenali. Harapan saya saat ini, semoga saja ia tetap bisa menjaga dirinya baik-baik, walaupun rasanya harapan ini hanyalah harapan kosong jika mengingat foto-foto tak pantasnya itu, dan semoga sihir metropolitan tidak menjangkiti saya yang sebentar lagi akan merantau ke Ibu Kota untuk melanjutkan studi saya ke perguruan tinggi. Amin.
Read more >>

Ini Bukan Salah Tuhan

Diposting oleh Artista Lushar Nova on
           
Tuhan itu Satu. Namun kita, tetap berbeda.



              Ketika matahari mulai terenggut gelap dan para muadzin mulai menyerukan perintah Tuhan, dan kita yang mulai menyadarinya.
            Bagi sebagian besar orang, cinta dalam nuansa perbedaan keyakinan adalah suatu hal yang salah. Ini pula yang pernah saya alami. Sepenggal kisah masa lalu yang memberikan pelajaran lebih dari cukup. Dimana saat resah begitu pekat dalam hati, dan rasa bimbang yang kerap kali menghantui.
            Ini tentang saya dan mantan pacar saya. Ketika cinta mulai berani menyusup diam-diam dalam hati saya yang masih terlalu muda, karena saat itu saya baru berusia enam belas tahun lebih enam bulan lebih satu hari. Dia pacar pertama saya, orang baik yang sedikit banyak sering menasihati saya seperti seorang kakak yang memberitahu adiknya, kebetulan juga perbedaan usia kami cukup jauh, empat tahun.
            Awal dari kedekatan kami, saya sudah menyadari bahwa ada yang berbeda dari hubungan ini, hingga akhirnya ia meminta saya menjadi kekasihnya. Jika waktu tujuh jam itu bisa disebut lama, selama itulah kami berdua “berdiskusi”. Bukan mengenai masalah mau atau tidaknya saya menjadi kekasihnya, namun lebih mengenai bagaimana caranya kami menjalani hubungan beda keyakinan ini. Saya bingung, dia pun tak memberi jawaban pasti dan hanya bisa mengatakan, “Kita jalani saja dulu. Hal itu bisa kita bicarakan pelan-pelan”.
            Dua bulan lebih enam hari berjalan dengan sikap saling menghormati dari kami berdua. Ia yang beberapa kali sempat membangunkan saya ketika waktu sahur tiba, mendengarkan cerita saya tentang serunya suasana malam lebaran dimana suara Takbir menggema di sekeliling saya, dan mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri. Namun, selama itu pula kami semakin menyadari bahwa kami bukanlah orang yang cukup hebat untuk menghadapi permasalan yang cukup pelik ini.
            Rasa berdosa semakin terasa ketika saya bersujud kepada-Nya. Rasanya seperti saya mengkhianati sesuatu yang suci. Tapi, kami berdua sadar, bahwa ini bukan salah Tuhan. Bukankah Tuhan itu Esa? Hanya saja kami yang berbeda, terlahir dari dua keluarga yang memiliki kepercayaan berbeda, dan memuji Tuhan dengan cara yang berbeda.
            Sempat memang pertanyaan, “Betapa parah cinta kita?” merasuki mimpi-mimpi malam saya, namun hal itu semakin menyadarkan saya betapa pentingnya pengalaman hidup ini. Walaupun akhirnya kami berdua memutuskan untuk kembali berteman seperti dulu sebelum gelisah merebut keriangan cinta. Kami memutuskan untuk kembali berteman bukan karena kami berbeda, akan tetapi karena kami sama-sama tidak siap untuk meninggalkan siapa kami sebenarnya, sama-sama tidak bisa melupakan bagaimana cara kami menyembah Tuhan, sama-sama tidak bisa berpura-pura tenang, sama-sama tidak bisa mengingkari janji kami kepada Tuhan.  Namun hal itu membuat saya melihat dengan cara yang lebih bijaksana. Mengajarkan saya bagaimana menghargai suatu perbedaan, bukannya saling menyalahkan, atau bahkan menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam.
            Perbedaan bukan untuk diperdebatkan, bukan untuk menjadi sumbu yang menyulut peperangan, bukan juga sebagai alat yang bisa mencerai-beraikan umat manusia. Perbedaan yang membuat hidup ini indah dan bagaimana kita menjadikan semua perbedaan dapat hidup berdampingan dengan harmonis.
                    Sekali lagi, ini bukan cerita yang menyalahkan Tuhan. Ini hanyalah cerita tentang saya dan dia, yang kini telah sama-sama hidup bahagia tanpa rasa bersalah.

Read more >>