Ini Bukan Salah Tuhan

Diposting oleh Artista Lushar Nova on
           
Tuhan itu Satu. Namun kita, tetap berbeda.



              Ketika matahari mulai terenggut gelap dan para muadzin mulai menyerukan perintah Tuhan, dan kita yang mulai menyadarinya.
            Bagi sebagian besar orang, cinta dalam nuansa perbedaan keyakinan adalah suatu hal yang salah. Ini pula yang pernah saya alami. Sepenggal kisah masa lalu yang memberikan pelajaran lebih dari cukup. Dimana saat resah begitu pekat dalam hati, dan rasa bimbang yang kerap kali menghantui.
            Ini tentang saya dan mantan pacar saya. Ketika cinta mulai berani menyusup diam-diam dalam hati saya yang masih terlalu muda, karena saat itu saya baru berusia enam belas tahun lebih enam bulan lebih satu hari. Dia pacar pertama saya, orang baik yang sedikit banyak sering menasihati saya seperti seorang kakak yang memberitahu adiknya, kebetulan juga perbedaan usia kami cukup jauh, empat tahun.
            Awal dari kedekatan kami, saya sudah menyadari bahwa ada yang berbeda dari hubungan ini, hingga akhirnya ia meminta saya menjadi kekasihnya. Jika waktu tujuh jam itu bisa disebut lama, selama itulah kami berdua “berdiskusi”. Bukan mengenai masalah mau atau tidaknya saya menjadi kekasihnya, namun lebih mengenai bagaimana caranya kami menjalani hubungan beda keyakinan ini. Saya bingung, dia pun tak memberi jawaban pasti dan hanya bisa mengatakan, “Kita jalani saja dulu. Hal itu bisa kita bicarakan pelan-pelan”.
            Dua bulan lebih enam hari berjalan dengan sikap saling menghormati dari kami berdua. Ia yang beberapa kali sempat membangunkan saya ketika waktu sahur tiba, mendengarkan cerita saya tentang serunya suasana malam lebaran dimana suara Takbir menggema di sekeliling saya, dan mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri. Namun, selama itu pula kami semakin menyadari bahwa kami bukanlah orang yang cukup hebat untuk menghadapi permasalan yang cukup pelik ini.
            Rasa berdosa semakin terasa ketika saya bersujud kepada-Nya. Rasanya seperti saya mengkhianati sesuatu yang suci. Tapi, kami berdua sadar, bahwa ini bukan salah Tuhan. Bukankah Tuhan itu Esa? Hanya saja kami yang berbeda, terlahir dari dua keluarga yang memiliki kepercayaan berbeda, dan memuji Tuhan dengan cara yang berbeda.
            Sempat memang pertanyaan, “Betapa parah cinta kita?” merasuki mimpi-mimpi malam saya, namun hal itu semakin menyadarkan saya betapa pentingnya pengalaman hidup ini. Walaupun akhirnya kami berdua memutuskan untuk kembali berteman seperti dulu sebelum gelisah merebut keriangan cinta. Kami memutuskan untuk kembali berteman bukan karena kami berbeda, akan tetapi karena kami sama-sama tidak siap untuk meninggalkan siapa kami sebenarnya, sama-sama tidak bisa melupakan bagaimana cara kami menyembah Tuhan, sama-sama tidak bisa berpura-pura tenang, sama-sama tidak bisa mengingkari janji kami kepada Tuhan.  Namun hal itu membuat saya melihat dengan cara yang lebih bijaksana. Mengajarkan saya bagaimana menghargai suatu perbedaan, bukannya saling menyalahkan, atau bahkan menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam.
            Perbedaan bukan untuk diperdebatkan, bukan untuk menjadi sumbu yang menyulut peperangan, bukan juga sebagai alat yang bisa mencerai-beraikan umat manusia. Perbedaan yang membuat hidup ini indah dan bagaimana kita menjadikan semua perbedaan dapat hidup berdampingan dengan harmonis.
                    Sekali lagi, ini bukan cerita yang menyalahkan Tuhan. Ini hanyalah cerita tentang saya dan dia, yang kini telah sama-sama hidup bahagia tanpa rasa bersalah.

0 komentar:

Posting Komentar