Catatan
ini tentang rasa takjub saya terhadap salah satu teman lama saya. Rasa takjub
sekaligus rasa tak percaya dengan apa yang saya lihat.
Dia
teman lama saya, tetangga waktu kami sama-sama kelas lima sekolah dasar. Dulu,
kami sering pergi berenang ke pantai yang letaknya tak jauh dari perumahan
tempat kami tinggal, saat sholat maghrib tiba, kami pergi ke masjid
bersama-sama dengan kecerian khas anak kecil. Lalu tiba-tiba ia memutuskan
untuk kembali tinggal bersama orangtuanya di Jawa, karena memang disini ia
tinggal bersama paman dan bibinya. Kepergiannya cukup membuat saya merasa
kehilangan teman, teman yang sama lugunya dengan saya, bukan seperti anak-anak
lain yang “gayanya” berbeda dengan saya. Saya yang lebih suka berdiam di rumah,
menulis puisi, atau pergi berenang dengan teman kecil saya itu, terlihat cukup
kontras jika harus akrab dengan sekumpulan anak-anak yang gemar membentuk
kelompok tari kreasi dan sudah berani untuk berpacaran di usia yang menurut
saya belum pantas untuk berkasih-kasihan.
Sepeninggal
teman kecil saya itu, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, keluar
rumah hanya untuk sekolah dan les. Dari bibinya, saya mengetahui bahwa
kehidupannya sekarang jauh dari kata layak. Ia tidak melanjutkan sekolah dan
setiap waktu panen habis, sebelum sawah dibakar oleh para petani, ia harus
memunguti sisa bulir-bulir padi di sawah milik orang untuk makan. Betapa miris
mendengarnya. Andai saja ia masih tinggal di sini, mungkin kami bisa bersekolah
di tempat yang sama dan belajar bersama-sama.
Suatu
hari sepulang sekolah (saat itu saya sudah kelas sebelas), mama memberitahu
saya bahwa teman kecil saya itu tinggal lagi bersama paman dan bibinya.
Langsung saya mendatanginya yang waktu itu sedang menggoreng kerupuk membantu
bibinya yang mempunyai usaha kerupuk. Senang sekali melihatnya yang sekarang
lebih dewasa namun masih tetap lugu seperti dulu. Namun itu tak lama, karena
kemudian ia memberitahukan saya bahwa sekarang ia tinggal di Denpasar dan
bekerja di sana sebagai tukang roti.
Cukup
lama kami tak berhubungan lagi setelah smsnya yang terakhir itu, karena
sekarang saya sudah kelas akhir di sekolah menengah atas. Namun tiba-tiba
datang satu sms dari nomer yang tidak tersimpan di daftar kontak saya. Dan itu
ternyata nomer baru teman kecil saya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan
saya mengetahui bahwa saat ini ia masih tinggal di Denpasar namun sudah pindah
kerja ke toko kaset, ia menanyakan alamat facebook saya, katanya, “Biar lebih
gampang menghubungi kamu, Ta”. Ya sudah, saya berikan saja alamat facebook saya
dan menunggu permintaan pertemanan darinya.
Beberapa
hari kemudian ketika saya sempat online
di jejaring sosial itu, saya melihat ada beberapa permintaan pertemanan. Karena
yang saya tunggu-tunggu adalah permintaan pertemanan dari teman lama saya itu,
maka dengan teliti saya baca satu-persatu nama-nama facebook tersebut. Ternyata
tak ada namanya, saya pikir mungkin ia belum sempat menambahkan saya sebagai
temannya. Namun setelah saya teliti lagi foto-foto di pengguna akun tersebut,
saya mengenali ada foto teman kecil saya itu, tetapi nama facebooknya bukan
lagi nama aslinya. Nama khas Jawa yang menurut saya adalah nama yang manis,
namun rupanya sekarang ia mengganti namanya dengan sebuah nama modern, bahkan
nama facebooknya pun (menurut saya) sangat alay.
Setelah saya menerima permintaan pertemanan darinya,
saya membuka profilnya. Ya Allah, inikah teman lama saya? Seorang gadis lugu
yang begitu mengerti keprihatinan hidupnya. Namun sekarang telah menjelma menjadi
gadis metropolitan. Rambutnya yang dulu hitam dan ikal, sekarang sudah lurus
seperti sapu ijuk dan terkena percikan cat cokelat. Ia yang dulunya teramat
lugu, sekarang dengan berani memamerkan foto-foto yang tak pantas bersama
kekasihnya. Tiba-tiba saya merasa sangat bodoh, karena ketika saya
memberitahukan alamat facebook saya kepadanya, ada sedikit rasa malu yang
menggelitik hati, karena dengan mengetahui facebook saya berarti dia pun akan
mengetahui bahwa saya sudah memiliki kekasih, karena hal itu terinformasikan di
facebook saya. Namun apa yang saya lihat ini bagaikan petir di siang bolong.
Inikah yang dinamakan sihir metropolitan? Yang
begitu hebat telah merubah teman lama saya menjadi seorang gadis yang tidak
lagi saya kenali. Harapan saya saat ini, semoga saja ia tetap bisa menjaga
dirinya baik-baik, walaupun rasanya harapan ini hanyalah harapan kosong jika
mengingat foto-foto tak pantasnya itu, dan semoga sihir metropolitan tidak
menjangkiti saya yang sebentar lagi akan merantau ke Ibu Kota untuk melanjutkan
studi saya ke perguruan tinggi. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar