Pada dasarnya kehilangan selalu kita identikkan
dengan suatu kejadian atas hilangnya sesuatu yang besar dari kehidupan kita.
Setelah itu sedih akan datang dan berangsur-angsur akan terobati dengan
berbagai hiburan. Tapi itu hanya akan berlaku pada “sesuatu yang besar”.
Akan tetapi hal tersebut tidak akan
berlaku pada (yang kita anggap) hal-hal sepele. Seringkali kita tidak peduli,
hanya berfikir perlu untuk menggantinya dengan sesuatu yang baru. Misalnya saja
saat tiba-tiba pulpen yang biasanya ada di kotak pensil tidak ada di tempatnya,
mungkin pada awalnya kita hanya akan merasa bingung dan mengingat-ingat dimana
terakhir kali kita meletakkan salah satu alat penyokong belajar itu, jika tidak
juga menemukan sebab kehilangannya, kita hanya perlu mampir ke toko alat-alat
tulis dan membeli yang baru, toh harganya tidak seberapa.
Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku
pada rasa kehilangan yang baru saja saya alami sendiri. Ini berawal dari
hilangnya tiga makhluk kecil berwarna keemasan yang sudah kurang lebih lima
bulan ini berenang-renang di dalam hati saya.
Pertengahan Oktober menjadi saat-saat
paling sibuk bagi saya dan juga teman-teman sekelas, karena sebentar lagi kami
harus menyambut datangnya HUT sekolah kami yang dapat dipastikan akan
berlangsung meriah, karena selalu begitu. Hal tersebut mendukung kami untuk
segera mencari-cari ide dalam “merenovasi” kelas kami. Tentu saja kami tidak
ingin kelas kami kalah meriah dalam perayaan HUT kali ini.
Akhirnya warna natural seperti hijau dan
coklat memenangkan voting dalam pemilihan dekor kelas. Kami menginginkan kelas
yang nyaman dan berbau alam. Lalu satu ide brilian sekaligus agak mencengangkan
datang dari salah satu anggota kelas. Ia mencetuskan ide tentang membuat kolam
di belakang kelas. Kolam? Dapat dibayangkan betapa kagetnya kedua puluh tiga
anggota kelas lainnya. Namun dengan berapi-apinya dia, sebut saja Andreas,
meyakinkan kami semua bahwa kolam yang “menakjubkan” akan segera terwujud.
Baiklah, pada akhirnya kami setuju, dengan satu syarat, hal ini harus menjadi
tanggung jawabnya, dan harus selesai sebelum Acara Pembukaan HUT. Ia pun
setuju.
Kurang lebih dua minggu kami berkutat
dengan segala kesibukan sekolah dan juga persiapan HUT. Setiap sore kami datang
lagi ke kelas dalam keadaan setengah mengantuk untuk mengadakan berbagai
persiapan. Empat belas orang mengadakan latihan gerak jalan, dan yang lainnya
tetap di kelas dan memulai memotong-motong gabus, mengecat, dan membuat
huruf-huruf yang berlapiskan jerami yang harus kami pelitur lagi agar terlihat
lebih mengilap.
Di tengah kesibukan tersebut, masalah
kolam agak sedikit terlupakan, karena terlalu banyaknya hal yang harus kami
kerjakan. Sampai pada akhirnya kurang satu hari lagi dari acara pembukaan.
Belum ada dalam bayangan saya bentuk kolam yang saat itu masih tidak berbentuk,
hanya seonggok kerangka dari potongan-potongan bamboo yang terlihat kusam
karena belum dipelitur. Karena hari itu saya merasa kurang sehat akhirnya saya
meminta ijin untuk pulang lebih awal, lebih dulu dari teman-teman yang lain.
Keesokan paginya, saatnya hari acara
pembukaan. Saya datang pagi-pagi sekali, sesampai di kelas, ternyata saya orang
pertama yang datang, dan betapa terkejutnya saya setelah melihat ke belakang
kelas. Kolam berbentuk segitiga, dengan hiasan bambunya yang alami, gemericik
air yang dibuat sedemikian rupa sehingga menggambarkan suasana pedesaan, dan
juga tiga ekor ikan mas yang berenang-renang lincah di dalamnya. Sedetik
berikutnya saya langsung jatuh cinta pada seperangkat kolam tersebut berikut
dengan tiga ekor ikannya yang lucu.
Sekarang, saat-saat kehilangan itu
tiba-tiba terasa sangat menyesakkan. Ketika kami sedikit dipaksa untuk
membongkar kolam tersebut dengan alasan sebentar lagi kami akan lulus dari
sekolah ini, yang juga berarti harus memindahkan ketiga ekor ikan yang akan
kehilangan habitatnya itu. Akhirnya kami mengadakan rapat pleno mengenai nasib
ketiga makhluk kecil yang hanya memiliki daya ingat tiga detik itu. Di sekolah
terdapat dua kolam ikan, ada kolam ikan besar yang terdapat di depan front office dan kolam kecil yang
terdapat di halaman samping. Celetukan lucu pun datang dari salah satu teman
saya ketika ada usul memindahkan ikan-ikan tersebut ke kolam depan yang telah
lama menjadi tempat tinggal ikan-ikan koi besar, ia mengatakan, “Jangan! Kasian
ikan-ikan kita, nanti mereka di-bully.”
Akhirnya kami memutuskan memindahkan
mereka ke kolam kecil yang menjadi tempat hidup ikan-ikan kecil. Sungguh berat
rasanya, melihat mereka harus berenang di kolam yang berbeda, harus merasakan
dinginnya air hujan, dan juga lumut yang banyak terdapat di kolam batu
tersebut.
Malam ini, saat saya menceritakan kisah
mereka bertiga, yang kami beri nama Bolo, Bola, dan Boli, rasa haru yang datang
entah dari mana membuat mata saya berkaca-kaca. Didukung dengan bayangan mereka
yang menjadi hiburan kami saat semua tes dan tugas sekolah terasa sungguh
berat, termasuk saat-saat kami harus ujian, namun setelah melihat Bolo, Bola,
dan Boli yang selalu berenang-renang dengan ceria, mata bulat mereka yang
sanggup mengusir rasa jenuh kami. Dari pengalaman ini saya belajar bahwa rasa
kehilangan bukan hanya untuk hal-hal besar, tapi juga untuk hal-hal kecil yang
layak untuk diperhitungkan. Dan kini, rasa rindu melihat mereka bertiga datang
lagi. Semoga Bolo, Bola, dan Boli baik-baik saja.
#Tulisan ini saya dedikasikan untuk mereka yang selalu berebut memberi makan ikan. Juga untuk Andreas dan Arwanda yang rutin menguras kolamnya.
Kolam yang kami ciptakan untuk Bolo, Bola, dan Boli. Walaupun hanya sesaat. |
0 komentar:
Posting Komentar