Rasanya: Nano-nano

Diposting oleh Artista Lushar Nova on

Bukan hal yang mudah ketika kita tahu bahwa tidak ada lagi seseorang yang biasanya selalu siap menjadi pembela, lebih sulit lagi untuk menerima kenyataan bahwa sekarang tidak ada lagi seseorang yang dulu selalu menjadi pelindung.
Dan, baiklah, sekarang saya harus mengalaminya. Harus menjalani kehidupan yang baru, di kota baru tanpa papa sang pembela, dan mama sang pelindung. Berat memang, tapi apa boleh buat, apakah harus saya pindahkan universitas impian saya ini ke kota tempat orang tua tinggal? Jelas tidak mungkin.
Terkadang ingin menangis jika kembali teringat masa-masa tinggal di rumah, di mana saya tidak pernah mengurus pekerjaan rumah tangga. Tapi di sini, saya berusaha melakukannya sendiri, termasuk mencuci. Walaupun mama menyarankan untuk menggunakan jasa tukang cuci, tapi saya bersikeras ingin mencuci sendiri. Padahal di rumah, cukup dengan meletakkan baju kotor di mesin cuci, lalu mengatur di beberapa panel, tercucilah baju-baju itu dengan ajaib.
Akan tetapi, jika diteliti dan dihayati lebih jauh, kehidupan baru ini benar-benar seru. Saya menjadi orang yang bangun di pagi hari dengan berbagai rencana sambil menyiapkan sarapan. Pulang kuliah tidak bisa langsung berbaring di tempat tidur yang selalu saya jaga kerapiannya, tapi ada saja yang saya rapikan, lalu membersihkan kamar. Bukankah itu perubahan yang baik?
Bukannya mau sok hebat, tapi saya ingin membuktikan bahwa saya bukanlah putri keraton yang selalu halus dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki, pertanda tak pernah melakukan pekerjaan berat. Seperti anggapan teman-teman saya dulu, bahwa saya adalah orang yang memiliki sepuluh pembantu rumah tangga, hingga mencuci piring pun tidak bisa. Padahal anggapan itu tidak benar. Mama saya adalah orang yang tidak ingin pekerjaannya mengatur rumah tangga diganggu orang luar, jadi ia membiasakan kepada saya untuk mencuci piring dan membantunya menyapu di hari libur. Yah, cuma itu memang pekerjaan rumah yang saya bisa sebelum saya harus tinggal di kota yang mirip dengan latar film Petualangan Sherina ini.
Bahkan, menyeberang jalan raya saja saya tidak bisa. Takut. Tapi di sini, dengan ajaibnya keberanian itu datang sendiri. Saya berpikir, di sini saya tinggal sendiri, tanpa seorang keluarga pun, jadi saya hanya bisa mengandalkan diri saya. Jika untuk menyeberang jalan saja saya harus bersama teman, bisa-bisa saya hanya akan mematung di tepi jalan tanpa harus tahu kapan saatnya yang tepat untuk melangkahkan kaki. Dan, jujur, saya sangat takjub saat saya menyeberang bersama teman, sayalah yang menjadi pemandunya, dan mereka mengatakan, “Wow, Ista hebat ya, bisa nyeberang jalan”. Bangga? Jelas, karena saya menyeberang jalan di lalu lintas yang sangat padat. jalur pantura, yang berubah menjadi ajang kebut-kebutan supir truk dan bus.
Masalah makan lain lagi. Saya bukan orang yang cerewet masalah jenis makanan. Syukurnya saya tidak memiliki alergi apapun, kecuali untuk sesuatu yang haram dan menjijikkan. Apalagi uang bulanan, bukan masalah bagi saya. Tapi masalahnya terletak pada, tidak lezatnya makanan yang tersedia di sini. Di rumah, saya terbiasa pada menu yang berganti setiap hari, dan selalu enak. Dan di sini, saya tidak mendapatkan itu semua. Lagi-lagi saya berpikir, ini karena saya kurang bersyukur. Saya mengeluh karena makanan tidak enak, sedangkan kebanyakan teman mengeluh karena tidak ada uang.
Saya tahu bahwa saya harus menikmati kehidupan baru ini. Menikmati tinggal di daerah pegunungan yang anehnya panas sekali di saat siang, menikmati makanan yang dibuat dengan doa supaya makanan tersebut laku, menikmati mandi dengan air yang (jika tidak disaring dengan kain di saluran kerannya) mengandung keong-keong kecil, ini karena tempat kos saya menggunakan air tanah, dan tentunya menikmati semua mata kuliah saya. Rasanya, seperti saya sedang mengulum permen Nano-Nano, manis-asem-asin.

0 komentar:

Posting Komentar