Malam ini saat saya sedang mengupas sebuah mangga, tiba-tiba saja teringat akan diri saya di usia sekolah dasar dulu. Saat dimana biji mangga adalah primadona dibandingkan daging mangga itu sendiri. Hal itu membuat saya geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa saya ngotot meminta biji mangga yang sudah dikupas habis dagingnya dan (berusaha) mencari-cari sisa daging buah pada biji tersebut dengan perasaan riang gembira?
Untungnya setelah memasuki bangku
sekolah menengah pertama saya sadar akan hal itu, maksudnya sudah sadar bahwa
lebih menguntungkan jika memakan daging buahnya, bukan bijinya. Ini membuat
saya geli sendiri, membayangkan betapa lugunya seorang anak kecil dalam
mendapatkan apa yang dia inginkan, tanpa memperhitungkan untung dan rugi dari
hal tersebut.
Dari sini saya belajar, bahwa dulu,
saat saya belum harus berfikir tentang banyak hal, saat saya hanya akan merasa
bahagia jika mendapatkan apa yang saya inginkan betapapun sepelenya hal itu,
saat saya masih benar-benar polos, sesuatu tidak pernah diukur dari harganya.
Di sini, nilai yang berperan.
Masa kanak-kanak adalah kebebasan
tak ternilai. Walaupun di masa itu saya belum boleh tidur larut malam hanya
karena ingin menonton film, walaupun saat itu saya diwajibkan tidur siang, dan walaupun
waktu itu saya tidak pernah pergi sendiri. Tapi di masa itu pula saya bebas
bertingkah - yang jika saya lakukan sekarang mungkin agak tidak masuk akal -
tanpa pernah takut akan ditertawakan, tapi di saat itu pula saya bisa bermain
apa saja - yang tidak mungkin lagi saya mainkan sekarang – tanpa pernah
memikirkan betapa konyolnya hal itu , dan
di waktu itu pula saya bebas memilih antara biji mangga atau dagingnya tanpa
pernah memikirkan yang mana untung dan yang mana rugi.