Bukan hal yang mudah ketika kita tahu
bahwa tidak ada lagi seseorang yang biasanya selalu siap menjadi pembela, lebih
sulit lagi untuk menerima kenyataan bahwa sekarang tidak ada lagi seseorang
yang dulu selalu menjadi pelindung.
Dan, baiklah, sekarang saya harus
mengalaminya. Harus menjalani kehidupan yang baru, di kota baru tanpa papa sang
pembela, dan mama sang pelindung. Berat memang, tapi apa boleh buat, apakah
harus saya pindahkan universitas impian saya ini ke kota tempat orang tua
tinggal? Jelas tidak mungkin.
Terkadang ingin menangis jika kembali
teringat masa-masa tinggal di rumah, di mana saya tidak pernah mengurus
pekerjaan rumah tangga. Tapi di sini, saya berusaha melakukannya sendiri,
termasuk mencuci. Walaupun mama menyarankan untuk menggunakan jasa tukang cuci,
tapi saya bersikeras ingin mencuci sendiri. Padahal di rumah, cukup dengan
meletakkan baju kotor di mesin cuci, lalu mengatur di beberapa panel, tercucilah
baju-baju itu dengan ajaib.
Akan tetapi, jika diteliti dan dihayati
lebih jauh, kehidupan baru ini benar-benar seru. Saya menjadi orang yang bangun
di pagi hari dengan berbagai rencana sambil menyiapkan sarapan. Pulang kuliah
tidak bisa langsung berbaring di tempat tidur yang selalu saya jaga
kerapiannya, tapi ada saja yang saya rapikan, lalu membersihkan kamar. Bukankah
itu perubahan yang baik?
Bukannya mau sok hebat, tapi saya ingin membuktikan bahwa saya bukanlah putri keraton
yang selalu halus dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki, pertanda tak pernah
melakukan pekerjaan berat. Seperti anggapan teman-teman saya dulu, bahwa saya
adalah orang yang memiliki sepuluh pembantu rumah tangga, hingga mencuci piring
pun tidak bisa. Padahal anggapan itu tidak benar. Mama saya adalah orang yang
tidak ingin pekerjaannya mengatur rumah tangga diganggu orang luar, jadi ia
membiasakan kepada saya untuk mencuci piring dan membantunya menyapu di hari
libur. Yah, cuma itu memang pekerjaan rumah yang saya bisa sebelum saya harus
tinggal di kota yang mirip dengan latar film Petualangan Sherina ini.
Bahkan, menyeberang jalan raya saja saya
tidak bisa. Takut. Tapi di sini, dengan ajaibnya keberanian itu datang sendiri.
Saya berpikir, di sini saya tinggal sendiri, tanpa seorang keluarga pun, jadi
saya hanya bisa mengandalkan diri saya. Jika untuk menyeberang jalan saja saya
harus bersama teman, bisa-bisa saya hanya akan mematung di tepi jalan tanpa
harus tahu kapan saatnya yang tepat untuk melangkahkan kaki. Dan, jujur, saya
sangat takjub saat saya menyeberang bersama teman, sayalah yang menjadi
pemandunya, dan mereka mengatakan, “Wow, Ista hebat ya, bisa nyeberang jalan”. Bangga? Jelas, karena saya menyeberang jalan di lalu lintas yang sangat padat. jalur pantura, yang berubah menjadi ajang kebut-kebutan supir truk dan bus.
Masalah makan lain lagi. Saya bukan
orang yang cerewet masalah jenis makanan. Syukurnya saya tidak memiliki alergi
apapun, kecuali untuk sesuatu yang haram dan menjijikkan. Apalagi uang bulanan,
bukan masalah bagi saya. Tapi masalahnya terletak pada, tidak lezatnya makanan
yang tersedia di sini. Di rumah, saya terbiasa pada menu yang berganti setiap
hari, dan selalu enak. Dan di sini, saya tidak mendapatkan itu semua. Lagi-lagi
saya berpikir, ini karena saya kurang bersyukur. Saya mengeluh karena makanan
tidak enak, sedangkan kebanyakan teman mengeluh karena tidak ada uang.
Saya tahu bahwa saya harus menikmati
kehidupan baru ini. Menikmati tinggal di daerah pegunungan yang anehnya panas
sekali di saat siang, menikmati makanan yang dibuat dengan doa supaya makanan
tersebut laku, menikmati mandi dengan air yang (jika tidak disaring dengan kain
di saluran kerannya) mengandung keong-keong kecil, ini karena tempat kos saya
menggunakan air tanah, dan tentunya menikmati semua mata kuliah saya. Rasanya,
seperti saya sedang mengulum permen Nano-Nano, manis-asem-asin.